Sabtu, 10 Januari 2015

Kebudayaan Jawa







  IDENTIFIKASI
       Daerah kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Namun ada daerah-daerah khusus yang disebut sebagai “ daerah kejawen”, yaitu meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Yogyakarta dan Surakarta merupakan daerah pusat kebudayaan. Diantara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan mengenai istilah tehnis, bahasa, dan lain-lain. Namun perbedaan tersebut tidaklah besar karena bagaimanapun juga hal-hal tersebut masih menunjukkan satu system kebudayaan Jawa.
Di dalam kesehariannya mereke melakukan hubungan-hubungan sosial menggunakan bahasa Jawa. Saat mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membedakan keadaan orang yang diajak bicara. Ditinjau dari kriteria tingkatannya, bahasa Jawa terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Bahasa Jawa Ngoko, yaitu dipakai untuk berbicara dengan  orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah drajat atau status sosialnya.
2.      Bahasa Jawa Krama, yaitu dipakai untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya.

·         ANGKA-ANGKA DAN FAKTA-FAKTA DEMOGRAFIS
            Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, jumlah penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura adalah 30.321.000. Kemudian  pada sensus di tahun 1961, jumlah penduduk dari ketiga daerah tersebut adalah 42.471.000.
A.    BENTUK DESA
       Desa merupakan tempat kediaman yang tetap bagi orang Jawa yang terletak di daerah pedalaman serta menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Desa berada di bawah kekuasaan pemerintah Kecamatan yang terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap bagian desa dikepalai oleh seorang kepala dukuh. Rumah dan pekarangan antara penduduk satu dengan yang lain dibatasi dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan. Beberapa rumah ada yang dilengkapi dengan lumbung padi, kandang-kandang, dan perigi yang dibangun di dekat rumah atau di halaman pekarangan rumah. Kemudian antara dukuh yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh sebuah jalan . selain rumah-rumah di desa juga terdapat  balai desa, yaitu tempat pemerintahan desa berkumpul atau mengadakan rapat-rapat desa yang diadakan tiap 35 hari sekali. Untuk menampung kegiatan-kegiatan pendidikan, keagamaan, dan sosial ekonomi rakyat, biasanya di desa terdapat sekolah-sekolah, langgar atau masjid dan juga ada pasar. Selain tempat-tempat yang telah disebutkan tadi, di desa juga terdapat kuburan, yaitu tempat persemayaman terakhir bagi orang yang sudah meninggal dunia. Kuburan desa biasanya berada di lingkungan wilayah salah satu sebuah dukuh. Sedangkan tanah pertanian berupa sawah-sawah atau ladang-ladang yang terdapat di sekeliling desa. 
      Dilihat dari bahan dan bentuknya, ada beberapa macam rumah, diantaranya ada rumah yang dibangun memakai kerangka dari bambu, glugu, atau kayu jati, kemudian dinding-dindingnya dibuat dari gedek, papan atau tembok dan atapnya berupa anyaman daun kelapa kering atau dari genting. Bagian dalam rumah dibagi atas beberapa ruangan kecil dan ruangan satu dengan ruangan lain dipisahkan oleh gedek yang dapat digeser atau dipindahkan. Pintunya pintu seret dan rumah tidak ada jendelanya. Sinar matahari dapat masuk melalui lubang dari atas atap dan dan celah-celah dindingnya.
      Sedangkan bentuk rumah jika dilihat dari atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo, rumah panggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum, rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom.dari sekian banyak bentuk-bentuk rumah tersebut, namun yang sering ditemui adalah rumah bentuk limasan. Sedangkan rumah joglo merupakan model rumah asli dari seorang bangsawan.
B.     MATA PENCAHARIAN HIDUP
       Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan, bertani juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat Jawa di desa-desa. Di antara mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat lahan kering, teruma yang hidup di daerah pegunungan. Sedangkan yang tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah tersebut menjadi sawah. Selain tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija juga di tanam biasanya di waktu musim kemarau. Palawija tersebut meliputi, ketela pohon, ketela rambat, jagung, kedelai, kacang tanah, dan lain-lain.
      Tanah sawah ada yang dibuat bertingkat-tingkat dan ada juga yang datar. Sebelum ditanami, tanah tersebut diolah terlebih dahulu, seperti halnya dibajak dan dicangkul, kemudian tanah didiamkan satu minggu, lalu diolah dengan garu dan dibantu pengairan serta diberi pupuk. Setelah itu, barulah tanah sawah siap ditanami padi.
       Pada awalnya bibit padi ditumbuhkan di sawah, untuk itu butir-butir padi yang akan dijadikan benih dipilih dahulu. Benih-benih yang sudah dipilih lalu disebar di sawah. Lamanya benih padi di persemaian sampai bisa dipindah ke sawah adalah antara 15 sampai 30hari. Pekrjaan pemindahan tunas batang padi dinamakan “nguriti atau ndaut”. Dalam pertunbuhannya, tanaman padi yang masih muda dipelihara agar tidak ada tumbuhan lain yang merusaknya, untuk dilakukan pekerjaan yang disebut “matun”. Sesudah padi masak lalu dituai dengan ani-ani untuk disimpan dalam lumbung dan setelah 40 hari baru boleh ditumbuk.
       Saat musim kemarau sawah tersebut ganti ditanami palawija, seperti kedelai dan kacang brol. Adapun alat untuk membenamkan biji kedelai dan kacang brol disebut “panja”, yaitu sebatang kayu yang diruncingkan ujungnyaserta panjangnya hampir dua meter. Lalu dilakukan perawatan selama setengah bulan lebih sedikit, setelah itu barulah dapat di panen.
       Sawah-sawah milik sendiri adalah sawah sanggan dan sawah yasan. Pemilik yang kelebihan dapat menjual sawah kepada orang lain. Dalam hal ini bisa menjual secara adol tahunan, yaitu hanya menyewakan sawahnya untuk satu tahun, atau secara adol ceplik, yaitu menjual lepas sawahnya. Banyak orang di desa tidak memiliki sawah, jadi orang-orang tersebut terpaksa bekerja menjadi buruh tani, menyewa tanah, bagi hasil atau menggadai tanah.
C.     SISTEM KEKERABATAN
     Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Sedangkan system istilah kekerabatannya menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki dan kakak wanita ayah dan ibu beserta pasangan masing-masing disebut sebagai siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikanke dalam dua golongan menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.
      Pada masyarakat Jawa terdapat adat-adat, antara lain, tidak boleh menikah dengan saudara kandung, apabila mereka itu pancer lanang yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki. Apbila mereka itu misan, yaitu apabila pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pada pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terkait hubungan kekerabatan itu diperkenankan. Macam-macam perkawinan yang diperbolehkan antara lain ngarang wulu seta wayuh. Ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan salah satu adik dari almarhum istrinya. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari satu istri (poligami).
      Sebelum dilangsungkan peresmian perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara. Seorang pria yang ingin menikah, pertama-tama harus datang ke tempat kediaman orang tua si gadis untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis itu sudah ada yang punya atau belum, hal tersebut disebut nakokake’. Jika orang tua si gadis sudah meninggal, dapat ditanyakan kepada walinya, yaitu anggota kerabat dekat yang dihitung menurut garis patrilineal. Pada waktu nakokake’ si pria didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang tuanya. Sampai sekarang di desa masih ada perkawinan-perkawinan dimana kedua orang yang bersangkutan belum saling mengenal, tetapi harus kawin atas kehendak orang tua. Dalam keadaan seperti itu ada upacara nontoni, yakni si calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon isterinya. Apabila ada jawaban bahwa si gadis belum ada yang punya dan kehendak hati akan mempersuntingnya diterima, lalu ditetapkan kapan diadakan peningsetan. Hal ini adalah pemberian sejumlah harta dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan. Biasanya berupa sepasang pakaian lengkap atau sakpengadek, kadang disertai cincin kawin. Sebelum peningsetan, terlebih dahulu diadakan perudingan untuk menentukan tanggal serta bulan perkawinan yang menganut tentang perhitungan weton, yaitu perhitungan hari kelahiran dari kedua calon pengantin. Dua atau tiga hari sebelum menikah diselenggarakan upacara asok tukon sebagai suatu tanda penyerahan harta kekayaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan secara simbolis yang berupa uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, dan ternak-ternak.
       Selain perkawinan melalui cara pelamaran biasa, di kalangan masyarakat Jawa juga dikenal sistem perkawinan magang atau ngenger, yaitu seorang jejaka yang mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis. Sistem perkawinan triman, yaitu seorang yang mendapatkan isteri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu. Sistem perkawinan ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak si gadis yang melamar jejaka. Sistem perkawinan paksa (peksan), yaitu perkawinan atas kemauan kedua orang tua.
       Sehari menjelang upacara perkawinan, pada pagi hari beberapa anggota kerabat pihak wanita berkunjung  ke makam para leluhurnya untuk meminta do’a restu. Sore harinya diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan leklekan dimana para kerabat pengantin wanita serta tetangga dekat dan kenalan-kenalannya berjaga di rumahnya hingga pagi hari. Malam menjelang hari perkawinan dinamakan malam tirakatan atau malam midadareni. Setelah tiba hari perkawinan , pengantin laki-laki diiring para kerabat dan tetangga pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada salah satu pamong desa yang bertugas mengurus hal nikah, setelah itu ke KUA menghadap penghulu yang pekerjaannya mengawinkan orang, dengan upacara ijab Kabul atau akad nikah dengan disaksikan wali dari kedua belah pihak. Setelah pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita membubuhkan tanda tangan di atas surat kawinnya, kemudian pengantin laki-laki menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda maskawin hokum perkawinan islam. Ijab Kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita, yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan antara kedua mempelai yang akhirnya dipersandingkan di pelaminan. Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa isterinya, hal ini dapat dilakukan setelah sepasar atau sama dengan lima hari sejak mereka dipertemukan. Pemboyongan disertai upacara lagi di kediaman mempelai laki-laki yang disebut ngunduh temanten.
        Perkawinan yang tidak berhasil member kebahagiaan bagi keduanya dapat menyebabkan terjadinya perceraian atau pegatan, pegatan dapat terwujud dengan syarat telah disetujui kedua belah pihak serta isteri tidak dalam keadaan hamil. Suami dapat menceraikan isterinya dengan menjatuhkan talak, sebaliknya isteripun berhak meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Jika permintaan cerai isteri tidak juga dikabulkan suami, maka istri berhak mengadu ke KUA yang akan memberi keputusan. Namun tidak jarang mereka memutuskan untuk hidup rukun kembali, selama masih ada harapan bahwa kebahagiaan hidup itu dapat dicapai. Suatu perukunan kembali yang dilakukan sebelum melebihi jangka waktu seratus hari disebut rujuk, sedangkan jika lebih disebut balen. Rujuk atau balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, jika lebih maka suami isteri harus bercerai selama-lamanya. Seorang janda baru boleh menikah lagi setelah lewat masa iddahnya, yaitu tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid dengan tujuan agar dikatahui bahwa wanita tersebut dicerai benar-benar tidak dalam keadaan hamil.
        Keluarga batih dalam msayarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala keluarga disebut kepala somah. Selain keluarga batih juga terdapat keluarga luas, yakni suatu pengelompokan dari dua samapi tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal. Meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri-sendiri. Suatu bentuk kelompok keluarga yang lain adalah  sanak sedulur. Kelompok kekerabatan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang hingga keturunan ketiga. Selain itu, juga masih terdapat kelompok kekerabatan alurwaris yang terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya.
         Setiap orang tua dari suatu keluarga batih tentu berkehendak memelihara kelangsungan hak, kewajiban, serta harta bendanya dengan mewariskan hak-hak tersebut pada anak-anak sendiri. Harta benda yang diwariskan antara lain rumah, perabot rumah, benda pusaka, ternak, tanah pekarangan, pohon-pohon yang tumbuh diatasnya, dan tanah pertanian. Dalam pembagian warisan terdapat dua cara, yaitu cara perdamaian dan cara sepikul segendongan. Cara perdamaian adalah suatu permusyawaratandi antara para ahli waris yang terdiri dari anak-anak atau anggota kerabat dari kedua belah pihak orang tua, yang mana akan ditentukan siapakah yang berhak dan wajib memperoleh bagian lebih ataupun sama dengan yang lain. Cara seperti digunakan dalam pembagian warisan berupa rumah, perabot rumah, benda pusaka, dan ternak. Cara ini memiliki tujuan yaitu agar tercapai suatu keadaan sejahtera bagi semua anggota keluarga batih. Adapun cara sepikul segendongan digunakan pada pembagian warisan tanah pekarangan dengan pohon-pohon yang tumbuh diatasnya, tanah pertanian. Menurut cara ini anak laki-laki mendapat bagian 2/3, sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian dari seluruh jumlah warisan orang tua.
D.    SISTEM KEMASYARAKATAN
       Dalam kenyataan hidup orang Jawa, masih membeda-bedakan antara priyai dan wong cilik. Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang Jawa membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, lurah dibantu oleh pamong desa.
      Dalam menjalankan usaha memelihara dan membangun masyarakat desa, para pamong desa harus sering mengarahkan bantuan penduduk desa dengan gugur gunung guna bekerja sama membuat, memperbaiki ataumemelihara jalan, jembatan, sekolah, pintu air, dan lain-lain. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, desa di Jawa memiliki koperasi pertanian, koperasi konsumsi, dan bank desa.
E.     RELIGi
       Agama yang berkembang di Jawa adalah islam, terbukti adanya bangunan-bangunan khusus tempat beribadah orang-orang islam. Selain islam juga terdapat agama nasrani atau agama besar lainnya. Orang Jawa juga mempercayai kesakten, yaitu suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan, biasanya kekuatan tersebut berasal dari makhluk halus. Dalam masyarakat Jawa juga ada upacara selamatan, yaiu suatu upacara makan makanan bersama yang telah diberi do’a sebelim dibagikan. Selain selamatan, juga ada sesajen, yaitu penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makhluk halus di tempat tertentu.
       Dalam masyarakat Jawa terdapat beberapa aliran kebatinan, antara lain: 1) aliran kebatinan keuaniyahan, percaya akan adanya anasir-anasir ruh halus 2) aliran keislam-islaman, ajaran tentang unsur-unsur agama islam 3) aliran kehindu-jawian, percaya terhadap dewa-dewa hindu 4) aliran mistik, usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan Tuhan.
F.      MASALAH PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI
       Kelemahan dari rakyat pedesaan di Jawa yang dapat menghambat pembangunan adalah sikap pasif terhadap hidup. Struktur masyarakat desa di Jawa yang asli, sudah terlanjur dirusak oleh struktur administratif  oleh pemerintah kolonial. Oleh karena itu, masyarakat desa tidak mengenal kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi adat yang sudah mantap.
       Masyarakat desa yang membutuhkan pemimpin kreatif, bisanya tidak dapat terwujud, karena banyak dari putra-putranya yang telah mendapat pendidikan sekolah tidak suka tinggal di desa. Masalah yang menghambat pembangunan masyarakat Jawa, antara lain : a) mentalitet orang Jawa yang terlalu nerima dan sikap pasif terhadap hidup, b) tekanan penduduk yang mengakibatkan rakyat miskin, c) tidak ada organisasi-organisasi yang mantap, d) tidak adanya kepemimpinan desa yang aktif kreatif. Semua masalah tersebut memang mudah kita memgerti namun sulit diatasi dalam waktu yang singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar