Daerah kebudayaan Jawa meliputi seluruh
bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Namun ada daerah-daerah khusus yang
disebut sebagai “ daerah kejawen”, yaitu meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Yogyakarta dan Surakarta merupakan daerah
pusat kebudayaan. Diantara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini
terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan mengenai
istilah tehnis, bahasa, dan lain-lain. Namun perbedaan tersebut tidaklah besar karena
bagaimanapun juga hal-hal tersebut masih menunjukkan satu system kebudayaan
Jawa.
Di dalam kesehariannya mereke melakukan
hubungan-hubungan sosial menggunakan bahasa Jawa. Saat mengucapkan bahasa
daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membedakan keadaan orang yang
diajak bicara. Ditinjau dari kriteria tingkatannya, bahasa Jawa terbagi menjadi
dua, yaitu:
1.
Bahasa Jawa Ngoko,
yaitu dipakai untuk berbicara dengan orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap
orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah drajat atau status sosialnya.
2. Bahasa
Jawa Krama, yaitu dipakai untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal akrab
dan terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya.
·
ANGKA-ANGKA DAN
FAKTA-FAKTA DEMOGRAFIS
Berdasarkan sensus penduduk tahun
1930, jumlah penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura adalah 30.321.000.
Kemudian pada sensus di tahun 1961,
jumlah penduduk dari ketiga daerah tersebut adalah 42.471.000.
A. BENTUK
DESA
Desa merupakan tempat kediaman yang
tetap bagi orang Jawa yang terletak di daerah pedalaman serta menjadi pusat
pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Desa berada di bawah kekuasaan
pemerintah Kecamatan yang terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap bagian desa
dikepalai oleh seorang kepala dukuh. Rumah dan pekarangan antara penduduk satu
dengan yang lain dibatasi dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan.
Beberapa rumah ada yang dilengkapi dengan lumbung padi, kandang-kandang, dan
perigi yang dibangun di dekat rumah atau di halaman pekarangan rumah. Kemudian
antara dukuh yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh sebuah jalan . selain
rumah-rumah di desa juga terdapat balai
desa, yaitu tempat pemerintahan desa berkumpul atau mengadakan rapat-rapat desa
yang diadakan tiap 35 hari sekali. Untuk menampung kegiatan-kegiatan
pendidikan, keagamaan, dan sosial ekonomi rakyat, biasanya di desa terdapat
sekolah-sekolah, langgar atau masjid dan juga ada pasar. Selain tempat-tempat
yang telah disebutkan tadi, di desa juga terdapat kuburan, yaitu tempat
persemayaman terakhir bagi orang yang sudah meninggal dunia. Kuburan desa
biasanya berada di lingkungan wilayah salah satu sebuah dukuh. Sedangkan tanah
pertanian berupa sawah-sawah atau ladang-ladang yang terdapat di sekeliling
desa.
Dilihat dari bahan dan bentuknya, ada
beberapa macam rumah, diantaranya ada rumah yang dibangun memakai kerangka dari
bambu, glugu, atau kayu jati, kemudian dinding-dindingnya dibuat dari gedek,
papan atau tembok dan atapnya berupa anyaman daun kelapa kering atau dari
genting. Bagian dalam rumah dibagi atas beberapa ruangan kecil dan ruangan satu
dengan ruangan lain dipisahkan oleh gedek yang dapat digeser atau dipindahkan.
Pintunya pintu seret dan rumah tidak ada jendelanya. Sinar matahari dapat masuk
melalui lubang dari atas atap dan dan celah-celah dindingnya.
Sedangkan bentuk rumah jika dilihat dari
atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo, rumah
panggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum, rumah klabang nyander, rumah
tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom.dari sekian banyak bentuk-bentuk
rumah tersebut, namun yang sering ditemui adalah rumah bentuk limasan.
Sedangkan rumah joglo merupakan model rumah asli dari seorang bangsawan.
B. MATA
PENCAHARIAN HIDUP
Selain
sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian,
pertukangan, dan perdagangan, bertani juga merupakan salah satu mata
pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat Jawa di desa-desa. Di antara
mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat lahan kering, teruma
yang hidup di daerah pegunungan. Sedangkan yang tinggal di daerah-daerah yang
lebih rendah mengolah tanah tersebut menjadi sawah. Selain tanaman padi,
beberapa jenis tanaman palawija juga di tanam biasanya di waktu musim kemarau. Palawija
tersebut meliputi, ketela pohon, ketela rambat, jagung, kedelai, kacang tanah,
dan lain-lain.
Tanah sawah ada yang dibuat
bertingkat-tingkat dan ada juga yang datar. Sebelum ditanami, tanah tersebut
diolah terlebih dahulu, seperti halnya dibajak dan dicangkul, kemudian tanah
didiamkan satu minggu, lalu diolah dengan garu dan dibantu pengairan serta
diberi pupuk. Setelah itu, barulah tanah sawah siap ditanami padi.
Pada awalnya bibit padi ditumbuhkan di
sawah, untuk itu butir-butir padi yang akan dijadikan benih dipilih dahulu.
Benih-benih yang sudah dipilih lalu disebar di sawah. Lamanya benih padi di
persemaian sampai bisa dipindah ke sawah adalah antara 15 sampai 30hari.
Pekrjaan pemindahan tunas batang padi dinamakan “nguriti atau ndaut”. Dalam
pertunbuhannya, tanaman padi yang masih muda dipelihara agar tidak ada tumbuhan
lain yang merusaknya, untuk dilakukan pekerjaan yang disebut “matun”. Sesudah
padi masak lalu dituai dengan ani-ani untuk disimpan dalam lumbung dan setelah
40 hari baru boleh ditumbuk.
Saat musim kemarau sawah tersebut ganti
ditanami palawija, seperti kedelai dan kacang brol. Adapun alat untuk
membenamkan biji kedelai dan kacang brol disebut “panja”, yaitu sebatang kayu
yang diruncingkan ujungnyaserta panjangnya hampir dua meter. Lalu dilakukan
perawatan selama setengah bulan lebih sedikit, setelah itu barulah dapat di
panen.
Sawah-sawah milik sendiri adalah sawah
sanggan dan sawah yasan. Pemilik yang kelebihan dapat menjual sawah kepada
orang lain. Dalam hal ini bisa menjual secara adol tahunan, yaitu hanya menyewakan sawahnya untuk satu tahun,
atau secara adol ceplik, yaitu
menjual lepas sawahnya. Banyak orang di desa tidak memiliki sawah, jadi
orang-orang tersebut terpaksa bekerja menjadi buruh tani, menyewa tanah, bagi
hasil atau menggadai tanah.
C. SISTEM
KEKERABATAN
Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan
prinsip keturunan bilateral. Sedangkan system istilah kekerabatannya
menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki
dan kakak wanita ayah dan ibu beserta pasangan masing-masing disebut sebagai siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari
ayah dan ibu diklasifikasikanke dalam dua golongan menurut jenis kelamin, yaitu
paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat Jawa terdapat adat-adat,
antara lain, tidak boleh menikah dengan saudara kandung, apabila mereka itu pancer lanang yaitu anak dari dua orang
saudara sekandung laki-laki. Apbila mereka itu misan, yaitu apabila pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari
pada pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terkait
hubungan kekerabatan itu diperkenankan. Macam-macam perkawinan yang
diperbolehkan antara lain ngarang wulu
seta wayuh. Ngarang wulu adalah suatu
perkawinan seorang duda dengan salah satu adik dari almarhum istrinya. Adapun
wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari satu istri (poligami).
Sebelum dilangsungkan peresmian
perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara.
Seorang pria yang ingin menikah, pertama-tama harus datang ke tempat kediaman
orang tua si gadis untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis itu sudah ada
yang punya atau belum, hal tersebut disebut
nakokake’. Jika orang tua si gadis sudah meninggal, dapat ditanyakan kepada
walinya, yaitu anggota kerabat dekat yang dihitung menurut garis patrilineal.
Pada waktu nakokake’ si pria didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang
tuanya. Sampai sekarang di desa masih ada perkawinan-perkawinan dimana kedua
orang yang bersangkutan belum saling mengenal, tetapi harus kawin atas kehendak
orang tua. Dalam keadaan seperti itu ada upacara nontoni, yakni si calon suami
mendapat kesempatan untuk melihat calon isterinya. Apabila ada jawaban bahwa si
gadis belum ada yang punya dan kehendak hati akan mempersuntingnya diterima,
lalu ditetapkan kapan diadakan peningsetan. Hal ini adalah pemberian sejumlah
harta dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan. Biasanya berupa
sepasang pakaian lengkap atau sakpengadek, kadang disertai cincin kawin. Sebelum
peningsetan, terlebih dahulu diadakan perudingan untuk menentukan tanggal serta
bulan perkawinan yang menganut tentang perhitungan weton, yaitu perhitungan
hari kelahiran dari kedua calon pengantin. Dua atau tiga hari sebelum menikah
diselenggarakan upacara asok tukon sebagai suatu tanda penyerahan harta kekayaan
pihak laki-laki kepada pihak perempuan secara simbolis yang berupa uang, bahan
pangan, perkakas rumah tangga, dan ternak-ternak.
Selain
perkawinan melalui cara pelamaran biasa, di kalangan masyarakat Jawa juga
dikenal sistem perkawinan magang atau
ngenger, yaitu seorang jejaka yang
mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis. Sistem perkawinan triman, yaitu seorang yang mendapatkan
isteri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga
tertentu. Sistem perkawinan ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak si gadis yang
melamar jejaka. Sistem perkawinan paksa (peksan), yaitu perkawinan atas kemauan
kedua orang tua.
Sehari menjelang upacara perkawinan,
pada pagi hari beberapa anggota kerabat pihak wanita berkunjung ke makam para leluhurnya untuk meminta do’a
restu. Sore harinya diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan
leklekan dimana para kerabat pengantin wanita serta tetangga dekat dan
kenalan-kenalannya berjaga di rumahnya hingga pagi hari. Malam menjelang hari
perkawinan dinamakan malam tirakatan atau malam midadareni. Setelah tiba hari
perkawinan , pengantin laki-laki diiring para kerabat dan tetangga pergi ke
kelurahan desa untuk melaporkan kepada salah satu pamong desa yang bertugas
mengurus hal nikah, setelah itu ke KUA menghadap penghulu yang pekerjaannya
mengawinkan orang, dengan upacara ijab Kabul atau akad nikah dengan disaksikan
wali dari kedua belah pihak. Setelah pengantin laki-laki dan wali pengantin
wanita membubuhkan tanda tangan di atas surat kawinnya, kemudian pengantin
laki-laki menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda maskawin hokum perkawinan
islam. Ijab Kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita,
yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara berakhir lalu dilakukan upacara
pertemuan antara kedua mempelai yang akhirnya dipersandingkan di pelaminan.
Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa isterinya, hal ini dapat
dilakukan setelah sepasar atau sama dengan lima hari sejak mereka dipertemukan.
Pemboyongan disertai upacara lagi di kediaman mempelai laki-laki yang disebut ngunduh temanten.
Perkawinan yang tidak berhasil member
kebahagiaan bagi keduanya dapat menyebabkan terjadinya perceraian atau pegatan,
pegatan dapat terwujud dengan syarat telah disetujui kedua belah pihak serta
isteri tidak dalam keadaan hamil. Suami dapat menceraikan isterinya dengan
menjatuhkan talak, sebaliknya isteripun berhak meminta cerai, yaitu dengan
memberikan taklik. Jika permintaan cerai isteri tidak juga dikabulkan suami,
maka istri berhak mengadu ke KUA yang akan memberi keputusan. Namun tidak
jarang mereka memutuskan untuk hidup rukun kembali, selama masih ada harapan
bahwa kebahagiaan hidup itu dapat dicapai. Suatu perukunan kembali yang
dilakukan sebelum melebihi jangka waktu seratus hari disebut rujuk, sedangkan jika lebih disebut balen. Rujuk atau balen hanya bisa
dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, jika lebih maka suami isteri harus
bercerai selama-lamanya. Seorang janda baru boleh menikah lagi setelah lewat
masa iddahnya, yaitu tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid
dengan tujuan agar dikatahui bahwa wanita tersebut dicerai benar-benar tidak
dalam keadaan hamil.
Keluarga batih dalam msayarakat Jawa
merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan
dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun seorang
kepala keluarga disebut kepala somah. Selain keluarga batih juga terdapat
keluarga luas, yakni suatu pengelompokan dari dua samapi tiga keluarga atau
lebih dalam satu tempat tinggal. Meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing
mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri-sendiri. Suatu bentuk
kelompok keluarga yang lain adalah sanak
sedulur. Kelompok kekerabatan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan
dari seorang nenek moyang hingga keturunan ketiga. Selain itu, juga masih
terdapat kelompok kekerabatan alurwaris yang terdiri dari semua kerabat sampai
tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya.
Setiap orang tua dari suatu keluarga
batih tentu berkehendak memelihara kelangsungan hak, kewajiban, serta harta
bendanya dengan mewariskan hak-hak tersebut pada anak-anak sendiri. Harta benda
yang diwariskan antara lain rumah, perabot rumah, benda pusaka, ternak, tanah
pekarangan, pohon-pohon yang tumbuh diatasnya, dan tanah pertanian. Dalam pembagian
warisan terdapat dua cara, yaitu cara perdamaian dan cara sepikul segendongan.
Cara perdamaian adalah suatu permusyawaratandi antara para ahli waris yang
terdiri dari anak-anak atau anggota kerabat dari kedua belah pihak orang tua,
yang mana akan ditentukan siapakah yang berhak dan wajib memperoleh bagian
lebih ataupun sama dengan yang lain. Cara seperti digunakan dalam pembagian
warisan berupa rumah, perabot rumah, benda pusaka, dan ternak. Cara ini
memiliki tujuan yaitu agar tercapai suatu keadaan sejahtera bagi semua anggota
keluarga batih. Adapun cara sepikul segendongan digunakan pada pembagian
warisan tanah pekarangan dengan pohon-pohon yang tumbuh diatasnya, tanah
pertanian. Menurut cara ini anak laki-laki mendapat bagian 2/3, sedangkan anak
perempuan mendapat 1/3 bagian dari seluruh jumlah warisan orang tua.
D. SISTEM
KEMASYARAKATAN
Dalam kenyataan hidup orang Jawa, masih
membeda-bedakan antara priyai dan wong cilik. Kemudian menurut kriteria pemeluk
agamanya, orang Jawa membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Secara
administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh
seorang lurah. Dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, lurah dibantu oleh pamong
desa.
Dalam menjalankan usaha memelihara dan
membangun masyarakat desa, para pamong desa harus sering mengarahkan bantuan
penduduk desa dengan gugur gunung guna bekerja sama membuat, memperbaiki
ataumemelihara jalan, jembatan, sekolah, pintu air, dan lain-lain. Untuk
mengatasi kesulitan ekonomi, desa di Jawa memiliki koperasi pertanian, koperasi
konsumsi, dan bank desa.
E. RELIGi
Agama yang berkembang di Jawa adalah
islam, terbukti adanya bangunan-bangunan khusus tempat beribadah orang-orang
islam. Selain islam juga terdapat agama nasrani atau agama besar lainnya. Orang
Jawa juga mempercayai kesakten, yaitu suatu kekuatan yang melebihi segala
kekuatan, biasanya kekuatan tersebut berasal dari makhluk halus. Dalam
masyarakat Jawa juga ada upacara selamatan, yaiu suatu upacara makan makanan
bersama yang telah diberi do’a sebelim dibagikan. Selain selamatan, juga ada
sesajen, yaitu penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam rangka
kepercayaan terhadap makhluk halus di tempat tertentu.
Dalam masyarakat Jawa terdapat beberapa
aliran kebatinan, antara lain: 1) aliran kebatinan keuaniyahan, percaya akan
adanya anasir-anasir ruh halus 2) aliran keislam-islaman, ajaran tentang
unsur-unsur agama islam 3) aliran kehindu-jawian, percaya terhadap dewa-dewa
hindu 4) aliran mistik, usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan Tuhan.
F. MASALAH
PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI
Kelemahan dari rakyat pedesaan di Jawa
yang dapat menghambat pembangunan adalah sikap pasif terhadap hidup. Struktur
masyarakat desa di Jawa yang asli, sudah terlanjur dirusak oleh struktur
administratif oleh pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, masyarakat desa tidak mengenal kesatuan-kesatuan sosial dan
organisasi adat yang sudah mantap.
Masyarakat desa yang membutuhkan
pemimpin kreatif, bisanya tidak dapat terwujud, karena banyak dari
putra-putranya yang telah mendapat pendidikan sekolah tidak suka tinggal di
desa. Masalah yang menghambat pembangunan masyarakat Jawa, antara lain : a)
mentalitet orang Jawa yang terlalu nerima dan sikap pasif terhadap hidup, b)
tekanan penduduk yang mengakibatkan rakyat miskin, c) tidak ada
organisasi-organisasi yang mantap, d) tidak adanya kepemimpinan desa yang aktif
kreatif. Semua masalah tersebut memang mudah kita memgerti namun sulit diatasi
dalam waktu yang singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar