A.
Pengertian Kekerabatan
Kekerabatan
adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki
hubungan darah atua hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas
ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan
seterusnya.
B.
Sistem Kekerabatan Suku
Batak
Sistem kekerabatan masyarakat Batak adalah
patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Dalam
masyarakat Batak hubungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa (bahasa Karo)
atau saama (bahasa Toba). Adapun kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga
batih (keluarga inti, terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak) yang disebut jabu,
dan ripe dipakai untuk keluarga luas yang virilokal (tinggal di rumah keluarga
pihak laki-laki). Dalam masyarakat Batak, banyak pasangan yang sudah kawin
tetap tinggal bersama orang tuanya. Adapun perhitungan hubungan berdasarkan
satu kakek atau satu nenek moyang disebut sada nini (pada masyarakat Karo) dan
saompu (pada masyarakat Toba). Keluarga sada nini atau saompu merupakan klen
kecil. Adapun klen besar dalam masyarakat Batak adalah merga (dalam bahasa
Karo) atau marga(dalambahasaToba).
C.
Bentuk Kekerabatan Suku Batak
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis
keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan
teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari
silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa
Batak memiliki marga. Sedangkan
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga
tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan
Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya
Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung
bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan
dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar
daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi:
Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu
filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena
merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari
adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan
dalam pelaksanaan Adat.
D.
Sistem perkawinan
·
Perkawinan Ideal
Perkawinan yang dianggap ideal di Suku
Batak adalah perkawinan antara seseorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibunya/perkawinan antara orang-orang rimpal (Marpariban)
·
Perkawinan pantangan :
Laki-laki Batak pantang kawin dengan
wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan dari saudara
perempuan ayah.
Laki-laki
Batak juga dilarang melakukan perkawinan Patri Parallel Cauosin.
·
Perkawinan umum :
Secara umum perkawinan bersifat eksogam
sehingga mengenal marga pemberi gadis (hula-hula) dan marga penerima gadis
(Boru). Sistem perkawinan ini disebut Connubium Asi Metris (Connobium Sepihak).
Hula-hula
memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada Baru.
Selain perkawinan tersebut di atas ada
adat perkawinan Levirat (lakoman) dan adat perkawinan Sororat.
Dikala suami meninggal dunia, sang istri
kawin dengan saudara laki-laki dari suami, inilah yang disebut dengan levirat.
Sedangkan dikala isteri meninggal dunia, sang suami kawin dengan saudara
perempuan dari isteri, inilah yang disebut sororat. Ini untuk menjaga struktur
kekerabatan yang telah mapan supaya tetap terjaga. Ini juga sebagai bentuk
tanggung jawab keluarga terhadap kebutuhan bologis maupun materi.
Macam-macam Lakoman ( Levirat ) :
Ø Lakoman
Tiaken : Si Janda kawin dengan saudara almarhum suaminya.
Ø Lakoman
Ngalihken Senina : Si Janda kawin dengan saudara tiri almarhum suaminya.
Ø Lakoman
Ku Nandena : Si Janda kawin dengan anak saudara almarhum suaminya.
E.
Macam –macam Suku Batak
Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori
atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama
marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara
mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.
Marga
pada Batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-karo, Ginting, Sembiring,
Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut terdapat submarga lagi.
Total submarganya ada 84.
Adapun
Batak Toba, dikatakan sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak
yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu contoh
marga pada suku bangsa Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan
Pardede.
Pada suku
Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat
dinamakan sulang silima yang terdiri dari lima unsur, yaitu Sinina tertua
(Perisang-isang, keturunan atau generasi tertua), Sinina penengah (Pertulan
tengah, keturunan atau generasi yang di tengah), Sinina terbungsu
(perekur-ekur, keturunan terbungsu), Berru yakni kerabat penerima gadis, dan
Puang yakni kerabat pemberi gadis.
Kelima unsur ini sangat berperan
dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan terutama
dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas lebbuh
atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang diambil
menjadi sah secara adat.
Lalu pada
Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan
akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Keempat marga ini
merupakan hasil dari Harungguan Bolon
(permusyawaratan besar) antara empat raja besar dari masing-masing raja
tersebut, untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan.
Sementara pada Batak Mandailing hanya dikenal
beberapa marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara,
Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia,
Daulay, Matondang, dan Hutasuhut
F. Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak.
1.
Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek
Marboru
2.
Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi •
Elek Maranak Boru
3.
Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina
Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4.
Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami
Man Anak Beru
5.
Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek
Marberru
·
Hulahula/Mora
adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling
dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak)
sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula
(Somba marhula-hula).
·
Dongan
Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga.
Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon
yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya
kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga
bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati
dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak
(berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
·
Boru/Anak
Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga
lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan,
baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat.
Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan
semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan:
Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem
kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat
kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi
Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang
Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti
orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata
krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu
disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
G. Pembagian
Harta Warisan
Dalam pembagian warisan, yang mendapatkan warisan
adalah anak laki-laki karena Batak berdasarkan kekerabatan patrilineal.
Sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau
dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah.
Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena
pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling
kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan
yang khusus.
Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya
jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan
apapun dari harta orang tua. Alasannya karena saudara ayah yang memperoleh
warisan tersebut, harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si
pewaris sampai mereka berkeluarga. Melihat sistem pembagian hara warisan pada
adat Batak, masih terkesan Kuno. Peraturan adat istiadatnya lebih terkesan
ketat dan tegas. Hal itu ditunjukkan dalam pewarisan anak perempuan tidak
mendapatkan apapun.
Adapaun pada Batak yang memiliki kepercaan
Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi
karena berkaitan dengan sistem kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan
emosional kekeluargaan. Bukan berdasarkan perhitungan matematis dan
proporsional. Biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anak
mereka dalam pembagian harta warisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar